Sukoharjo, 28/8/2021 – Kaprodi Aqidah dan Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta Dra. Hj. Siti Nurlaili
Muhadiyatiningsih, M.Hum. turut menghadiri kegiatan Sosialisasi Program Studi
yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi AFI pada hari Sabtu,
28 Agustus 2021 secara virtual melalui media Zoom Meeting.
Acara yang dimulai pukul 13.00 WIB tersebut bertema “Melestarikan
Kearifan Lokal di Era Digital” dengan maksud mengenalkan Mahasiswa baru tentang
kajian kearifan lokal pada era digital, dalam pembukaan Moderator menyampaikan
bahwa pada dasarnya prodi AFI UIN Surakarta menitikberatkan kajiannya pada kearifan
lokal dan filsafat Islam Jawa yang menjadi distingsinya. Sehingga harapannya,
meskipun hidup para era digital namun tetap dapat melestarikan kearifan lokal.
Dalam kesempatan itu, Kaprodi AFI yang menjadi Narasumber turut menyambut para mahasiswa baru dengan suka cita dan mengenalkan profil prodi secara luas dan mendalam, mulai dari sejarahnya dari masa ke masa, visi misi tujuan, scientific vision yang menjadi pencirinya, hingga profil lulusan dan profil dosen serta mata kuliah yang akan ditempuh oleh para mahasiswa, baik mata kuliah wajib institut, mata kuliah wajib program studi sampai dengan mata kuliah pilihan program studi. Terakhir Dra. Hj. Siti Nurlaili M, M.Hum. menyampaikan agar para mahasiswa meneguhkan hatinya di Prodi AFI dan merajut mimpi bersama. [Ahm]
Sumber Gambar: https://pecihitam.org/belajar-dari-kisah-kesabaran-nabi-ayub-dan-kesetiaan-siti-rahmah/
“Dan ingatlah akan
hamba Kami Ayyub ketika dia menyeru Tuhannya, “Sesungguhnya aku diganggu setan
dengan penderitaan dan bencana. (Allah berfirman), “Hentakkanlah
kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami
anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipatgandakan
jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
berpikiran sehat. Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah
dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia
(Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat
(kepada Allah).” QS. Ṣād:
41-44.
Sebagai seorang muslim, sudah barang tentu membutuhkan
teladan yang dapat dijadikan figur atau panutan dalam berkepribadian, maka
menjadikan tokoh-tokoh inspiratif yang kisahnya diabadikan al-Qur’ān
adalah pilihan tepat. Sebab meskipun mereka belum tentu disenangi oleh manusia
sekitarnya, tapi sudah pasti mereka dicintai Tuhan, bahkan sebagian dari mereka
telah dijanjikan Surga-Nya. Sebut saja misalnya Rahmah istri Nabi Ayub ‘Alaihi
al-Salām.
Kisahnya sangat relevan sekali dengan kondisi pandemi saat ini, bagaimana
Rahmah memiliki citra seorang perempuan yang penyabar, setia, dan penuh
pengorbanan dalam mendampingi suaminya yang diuji dengan sakit berat dan
kemiskinan.
Alkisah,
setelah masa kenabian Ayub ‘Alaihi al-Salām, kehidupan dan keluarganya dianugerahi kemakmuran,
berlimpah harta, binatang ternak, ladang, dan sejumlah budak yang membantu
merawat ternak dan mengelola ladang. Semakin bertambah kebahagiaannya dengan
kahadiran putra-putri mereka yang tumbuh baik dalam iman dan kasih sayang.
Hingga kemudian Setan berupaya untuk mengganggu dengan ujian bertubi-tubi,
seperti ayat yang berbunyi “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan
dan siksaan”.
Seperti yang banyak diceritakan, Nabi Ayub ‘Alaihi
al-Salām kemudian
berangsur-angsur jatuh miskin, bahkan yang lebih berat adalah beliau harus kehilangan
putra-putrinya dan hanya tertinggal seorang istri yaitu Rahmah disampingnya. Ujian
terus bertambah dengan bertahun-tahun harus menderita penyakit yang disebutkan
sangat parah -pada saat itu- sampai akhirnya sang istri harus menggantikan
perannya untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidup mereka berdua.
Singkat cerita, sampai-sampai pada suatu saat tidak
seorangpun yang berkenan mempekerjakan Rahmah dirumah mereka karena penyakit
sang suami, sehingga kondisi mereka berdua semakin sengsara dan terpuruk namun
tetap menjaga iman dan taat beribadah. Pernah suatu ketika Rahmah bertemu
dengan seseorang yang tak dikenal dan mengajaknya untuk mengingkari Allah Swt,
hal tersebut ia sampaikan kepada Nabi Ayub ‘Alaihi
al-Salām dan dengan perasaaan penuh kecewa beliau mengatakan
bahwa itu adalah iblis yang akan menyesatkan mereka. Hal tersebut membuat Ayub ‘Alaihi
al-Salām bersedih sampai ia mengancam akan memecut Rahmah seratus kali jika
ia sembuh nanti.
Setelah
bertaubat dan perasaan bersalahnya, suatu pagi Rahmah keluar rumah untuk
bekerja dan dalam kesendiriannya Nabi Ayub kemudian mendengar seruan yang
memerintahkannya untuk menghantamkan kedua kaki, seketika dihadapannya ia
melihat sebuah kolam air yang dapat digunakan untuk minum dan mandi. “Hentakkanlah
kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum”. Hingga tak lama
setelahnya ia mendapati dirinya sudah kembali sehat.
Begitu Rahmah pulang, ia mencari-cari suaminya yang
tak kunjung ditemukan, lalu ia bertanya kepada seorang laki-laki yang ia temui
di jalan dan akhirnya tercengang saat menyadari bahwa dia adalah sang Suami.
Betapa bahagianya mereka saat saling bertemu dan mengetahui keadaannya kini, meskipun
selepas itu Ayub ‘Alaihi al-Salām
dirundung gundah karena berarti ia harus menepati janjinya untuk memecut Rahmah
mengingat kondisinya yang telah sehat kembali. Kemudian turunlah ayat “Dan
ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan
janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang
yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).”
(QS. Shād:
44). Begitulah Allah Swt melimpahkan kembali karunia-Nya kepada Nabi Ayub dan
istri “Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada
padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan
jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan
bagi semua yang menyembah Kami.” (QS. Al-Anbiyā’:
84).
Banyak pesan hikmah yang dapat dipetik dari kisah Rahmah istri Nabi Ayub ‘Alaihi al-Salām, jika sang suamidikenal karena kesabarannya menghadapi ujian, maka hal tersebut adalah sebuah kelaziman bagi seorang Nabi, manusia pilihan. Berbeda dengan Rahmah, manusia biasa sebagaimana perempuan pada umumnya, sangat ‘wajar’ jika ia mendampingi suami saat kaya raya dan bergelimang harta. Namun ia mengajarkan bagaimana seorang istri dapat mendampingi suami bukan karena keadaan yang menyertainya; baik hanya bertahan saat didera sakit dan kemiskinan atau hanya menetap ketika berada di puncak kejayaan. Rahmah adalah salah satu sosok ‘ikonik’ yang menggambarkan seorang istri dengan penuh kesabaran dan kesetiaan mendampingi suami dari keadaaan jaya hingga kondisi dimana manusia menghina dan mencerca. Tentu tidak mudah, oleh karenanya ia terus berjuang membuang rasa malu, takut dan enggan untuk bekerja keras mencari nafkah demi merawat suami tercinta hingga pada akhirnya tetap bersama sampai Tuhan mengembalikan keadaan mereka. Wallāhu A‘lam bi al-Ṣawāb []
Sumber Gambar: http://yayasanpulih.org/2020/06/perubahan-peran-gender-selama-pandemi/
Perempuan dan laki-laki seringkali
terikat pandangan umum masyarakat mengenai peran perempuan dan laki-laki yang
berasal dari norma sosial dan budaya. Misalnya, peran perempuan sebagai ibu
rumah tangga dan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga atau pencari
nafkah, seringkali membatasi baik perempuan maupun laki-laki dalam memenuhi
potensi diri masing-masing. Adanya pelekatan peran seperti inilah yang menjadi
akar dari suatu bias gender.
Untuk memahami akan makna dari bias
gender, maka perlu diketahui hakikat gender itu sendiri. Gender merupakan
perbedaan secara sosial untuk menggambarkan semua atribut yang diberikan secara
sosial antara lain peran, kegiatan, dan tanggung jawab atas laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat tertentu. Gender merujuk pada hubungan antara
laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagaimana
hubungan sosial tersebut dikonstruksikan. Biasannya gender ditentukan oleh tempat
dan budaya masyarakatnya. Peran gender bersifat dinamis dan dapat berubah antar
waktu. Banyak orang yang salah mengartikan bahwa gender itu merupakan jenis
kelamin, maka di sini perlu digaris bawahi bahwa gender
itu bukanlah jenis kelamin melainkan sifat—lebih
tepatnya sifat bentukan.
Ada yang “feminis” dan ada
yang “maskulin”.
Sifat feminis bercirikan lemah, lembut,
dan keibuan sedangkan sifat maskulin bercirikan kuat, keras, tangguh, dan gagah
berani. Sifat feminis tidak melulu harus dimiliki oleh perempuan dan sifat
maskulin juga tidak melulu harus dimiliki oleh laki-laki karena sifat atau
gender ini dibentuk oleh manusia itu sendiri. Gender dapat diubah dan ditukar,
karena sifat merupakan bentukan yang dibuat oleh manusianya masing-masing. Misalnya,
perempuan tidak selalu bersifat lemah, lembut, dan halus tetapi banyak juga diluar
sana perempuan bersifat kuat, berani, dan keras atau biasa disebut dengan
istilah tomboy. Begitupun sebaliknya
dengan sifat laki-laki yang tidak harus keras, kuat, dan gagah.
Kemudian ada satu pertanyaan yang
sering ditanyakan dan harus diperjelas, apakah gender itu termasuk kodrat?
Jawabannya adalah bukan. Gender dan kodrat itu dua hal yang berbeda. Kodrat
adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Tuhan YME, sehingga manusia tidak mampu
untuk mengubahnya ataupun menolaknya. Kodrat dari
setiap perempuan yaitu menstruasi, hamil (melahirkan), dan menyusui sedangkan
kodrat laki-laki ialah mempunyai sperma. Kodrat sifatnya universal (tetap
sepanjang hayat dikandung badan) sedangkan gender lebih menekankan pada
pembagian peran dan tugas yang diatur oleh manusia (masyarakat) dan setiap
masyarakat satu dengan masyarakat lainnya itu berbeda, bahkan dalam suatu
masyarakat pun senantiasa mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Pembagian peran dan tugas inilah yang
banyak menyebabkan salah arti mengenai kodrat. Banyak masyarakat awam
mengatakan bahwa kodrat perempuan itu harus di
rumah
melayani suami, memasak, mengurus anak, mengurus rumah, dan lain sebagainnya.
Namun, hal itu tidak dapat dibenarkan, karena sejatinya kodrat seorang perempuan
itu hanya ada tiga, yaitu menstruasi, hamil
(melahirkan), dan menyusui. Selebihnya dari itu, laki-laki pun bisa melakukan
pekerjaan domestik seperti memasak, mengurus rumah, belanja kebutuhan dan untuk
mengurus anak sekalipun.
Terlebih di
masa
pandemi ini, menjadi perempuan seperti harus memanggul dunia. Perempuan
dituntut untuk menjadi istri, ibu, sekaligus guru dan seseorang yang harus
mengurusi kehidupannya sendiri. Belum lagi jika kebutuhan dan ekonomi keluarga
belum tercukupi. Seorang perempuan juga harus ikut terjun dalam dunia
pekerjaan. Beban seorang perempuan menjadi berlipat ganda bahkan dua kali lebih
banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal itu dikarenakan adanya salah arti
mengenai kodrat dalam masyarakat tadi yang mengharuskan seorang perempuan
mengurus pekerjaan domestik sepenuhnya.
Nah, dari keharusan itulah para
perempuan merasa adanya ketidakadilan sehingga terciptalah bias gender. Apa itu
bias gender? Bias gender terjadi apabila salah satu pihak dirugikan sehingga
mengalami ketidakadilan. Ketidakadilan yang dimaksud adalah apabila salah satu
gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Bias gender dapat terjadi
pada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi di Indonesia ini, bias gender
lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan.
Perempuan kerap kali dipandang sebagai
masyarakat kelas dua, diperlakukan berbeda daripada laki-laki terlebih dalam
pembangunan kesejahteraan sosial. Seringkali diragukan karena dianggap tidak
mampu dan tidak layak. Pada akhirnya terjadilah banyak ketimpangan yang dialami
oleh kaum perempuan. Dimulai dari finansial ketika perempuan bekerja. Upah bagi
perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan upah laki-laki, perempuan juga
lebih cenderung terkena PHK atau terancam karirnya dibandingkan dengan
laki-laki. Faktor norma sosial pun seringkali menuntut para perempuan untuk
bisa mengambil alih lebih banyak pekerjaan domestik dibanding laki-laki karena
dianggap sudah menjadi kodratnya. Dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan
pun perempuan masih di nomorduakan.
Lantas bagaimana kita menyikapi adanya
isu bias gender ini? yang perlu dilakukan sebagai upaya merespon isu kesetaraan
gender ini adalah dengan memperjuangkan keseimbangan gender, menghapus
ketimpangan gender atau bias gender ini, memberikan kesempatan yang sama pada
kedua gender, saling menguntungkan kedua gender, serta menegakkan keadilan bagi
kedua gender. Karena munculnya tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan ini perlu direspon secara proposional baik oleh laki-laki maupun
perempuan. Jika tidak maka tetap saja isu bias gender atau kesetaraan gender
ini hanya akan menjadi suatu wacana yang tak berujung.
Jangan sampai kita alergi terhadap pembahasan kesetaraan gender ini, karena akan memberikan dampak negatif bagi penyumbatan pembangunan secara utuh. Oleh karena itu, perlunya menyikapi isu bias gender ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap berbagai aktivitas hidup yang mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang harmonis. []
Sumber Gambar: https://haziemnafan.wordpress.com/2018/12/09/kemanusiaan-yang-menyatukan-semua-agama/
Kebanggaan sebagai orang yang beriman seringkali menjadikan orang
tersebut memandang rendah agama lain. Terang saja hal ini membuat kita sedikit
gelisah mengenai agama yang seharusnya menjadikan manusia berbakti dan berbudi
pekerti luhur, justru melahirkan iblis versi mereka. Ini mengingatkan saya
kepada beberapa insiden mengenai penyerangan terhadap agama tertentu.
Contoh dekat seperti yang terjadi pada bom Bali yang banyak
menewaskan warga asing yang notabene pada saat itu sedang berwisata di Bali.
Latar belakang pengeboman ditengarai dikarenakan orang-orang yang mengaku diri
beragama Islam itu mempunyai anggapan buruk mengenai barat yang membenci Islam
dan bahkan memerangi Islam. Juga ada lagi peristiwa di luar negeri juga pernah
ada seorang secara terang-terangan membantai seluruh jamaah sholat jum’at di
suatu masjid di Selandia Baru yang sempat viral di media sosial dengan motif
ingin meminimalisir dan menanamkan rasa takut kepada para penjajah yang
diidentikkan dengan orang islam dan Eropa lainnya (mengutip dari liputan6.com).
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan tanpa
adanya agama manusia akan baik-baik saja? Menurut informasi di atas bahwa
sentimen antar pemeluk agama atau kepercayaan sering terjadi. Dan, pembahasan
mengenai agama juga merupakan sesuatu hal yang sangat sensitif. Terutama pada
suatu negara yang memiliki banyak pemeluk agama dan kepercayaan yang
bermacam-macam seperti Indonesia. Dengan agama Islam sebagai agama dominan dan
agama-agama lain menjadi minoritas membuat agama Islam harus menjadi
se-toleransi mungkin, namun banyak yang mengaku tidak sepenuhnya mengerti dan
hanya ikut-ikut saja terkadang menjadi sasaran empuk untuk dimasuki
doktrin-doktrin kebencian terhadap agama lain yang menghadirkan tindakan
terorisme. Itu juga berlaku untuk agama yang lain karena saya percaya bahwa
tidak ada satupun agama yang membenarkan kekerasan dan pembunuhan massal.
Namun, benarkah jika tidak ada agama maka pertikaian atau sentimen
terhadap agama satu dengan yang lain akan hilang atau tidak pernah terjadi?
Saya akan mengutip dari Karl Marx yang mengatakan bahwa “agama
adalah candu”. Maksudnya di sini bukan mengatakan bahwa agama adalah salah.
Tapi menurut Marx, agama bagi masyarakat hanya sekedar obat penenang yang mana
ketika masyarakat sedang berada dalam kesusahan mereka akan berlari kepada
agama yang akan membuat mereka merasa ditenangkan. Dan bahkan, kecanduan ini
kadang menjadikan para pemeluknya tidak sedikit yang terkekang dan tidak bisa
memajukan peradabannya dengan majunya ilmu pengetahuan.
Candu yang dimaksudkan oleh Karl Marx, menurut saya tidak
sepenuhnya jelek, bahkan dalam terapi kejiwaan agama juga menjadi alternatif
yang bisa diambil untuk pemecahan masalah mengenai kejiwaan. Namun, kecanduan
tersebut juga akan sangat tidak menguntungkan ketika orang tersebut terlalu
fanatik terhadap agamanya. Orang-orang menyebutnya fundamentalis, sebagai penamaan
atas terlalu ketatnya dia dalam beragama.
Sekarang masalahnya, jika tidak ada agama atau suatu kepercayaan
apakah itu sesuatu yang bagus? Jawabannya tentu tidak. Memang benar apa yang
dikatakan Marx, bahwa masyarakat cenderung membuat agama hanya sebagai
pelampiasan ketika mereka sedang mengalami kesedihan hati. Terutama
jomblo-jomblo yang sering ditolak lamarannya sama gebetan. Begitu patah hati
langsung taat agama, bahkan tahajjud atau sholat di sepertiga malam. Ketika
jaman dulu ada yang bilang “cinta ditolak dukun bertindak”, sekarang jadi beda
“cinta ditolak Allah bisa berkehendak”.
Jika dipikirkan lagi “kebucinan” memang sudah merajalela,
bahkan ada yang rela hujan-hujan demi kata “maaf” dari gebetan. Yang lebih
parahnya lagi gara-gara bucin sampai berani bunuh diri. Ini membuktikan
bahwa mental health itu dibutuhkan oleh setiap orang bukan hanya para
bucin dan agama menyediakan hal itu.
Kembali lagi, tentang moral dan etika terhadap sesama yang sudah
dibahas terlebih dahulu seperti yang diatas bahwasannya sentimen antar agama
sering terjadi bahkan sampai memakan korban jiwa. Itu pun setiap agama pasti
melarang adanya pertikaian dan perang. Jadi, coba bayangkan ketika tidak ada
agama yang melarang mengenai pertikaian dan perang. Sudah barang jadi akan
banyak peperangan dan moral etika pun tidak akan terbentuk dengan baik. Jika
ada yang bilang bahwa kebijakan manusia bisa mengatasi permasalahan moral dan
etika, maka juga perlu dipertimbangkan mengenai Hak Asasi Manusia seberapa
banyak hal tersebut berdampak terutama bagi ras yang sering ditindas yaitu ras
kulit hitam yang sampai sekarang masih belum mendapatkan kemerdekaannya dari
prasangka buruk.
Islam datang membawa solusi bagi bahwasaannya dalam tubuh agama
Islam sendiri meniadakan satu dan banyak hal yang merupakan akar dari
perselisihan seperti larangan menggunjing, menghargai setiap orang, berpikiran
positif, mewajibkan berbuat baik kepada banyak orang tanpa melihat status orang
tersebut, dan lain sebagainya. Bahkan Islam juga menghapuskan sistem budak yang
dulunya sudah lama eksis terlebih dahulu yang membawa asumsi bahwa budak itu
derajatnya lebih rendah dari orang lain di sekitarnya. Bahkan strata sosial
seperti apa yang dilakukan agama lain dengan mengelompokkan kedudukan sosial
manusia dalam beberapa golongan. Namun demikian, penganut agama lain sepertinya
tidak suka ketika Islam dengan gencar menjadi yang terdepan dalam kadar
toleransi dengan sesama dan menjadikan agamanya seperti tertinggal dan
tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan agama Islam. Banyak skenario dibuat
untuk membuat agama Islam jelek dan membuat masalah ini semakin berlarut.
Bukan agama yang menjadi inti permasalahan yang berlarut-larut ini, tapi manusianya yang menyebarkan kebencian. Allah SWT tidak pernah menyuruh hambanya untuk berseteru tegang dengan penganut agama lain. Tetapi dari hamba sendiri yang kurang berpengetahuan dan hanya bermodal iman yang tinggi dengan alasan membela agamanya itulah yang justru semakin memperkeruh keadaan. Beriman dan taat adalah dua hal penting dalam agama Islam, namun pengetahuan mendalam dalam agama juga perlu dipupuk sehingga perseteruan yang dipicu oleh perbedaan agama dapat diperkecil dan stigma negatif mengenai agama terutama Islam bisa sedikit demi sedikit menghilang. []
Sumber Gambar: https://widuri.ac.id/peran-mahasiswa-dalam-masyarakat-di-masa-pandemi/
Indonesia,
Negara kita tercinta sampai saat ini masih menghadapi salah satu cobaan yang
sangat berat. Bagaimana tidak, Virus Covid-19 yang melanda bumi hampir dua
dekade lamanya seakan merubah tatanan kehidupan baik itu tatanan ekonomi,
tatanan pendidikan bahkan tatanan hidup lainnya. Berbagai kebijakan demi
kebijakan yang dilakukan pemerintah guna untuk menekan laju penyebaran Covid-19
terus diupayakan, salah satunya adalah kegiatan belajar mengajar, baik itu
untuk siswa dan mahasiswa dilakukan secara daring.
Lantas
sampai kapan virus ini akan berakhir? Mungkin itulah pertanyaan yang muncul
dari siswa atau mahasiswa yang sudah merindukan bangku sekolah secara tatap
muka, atau bahkan semua orang yang ingin kembali hidup normal tanpa banyaknya
aturan.
Sebagai
pelajar yang sebelumnya melakukan pembelajaran di kelas secara tatap muka,
mungkin awalnya kebingungan dan bertanya-tanya, apakah pembelajaran jarak jauh
ini akan efektif seperti halnya pembelajaran tatap muka? Di sisi lain,
pembelajaran daring merupakan
himbauan pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19, sementara
itu Revolusi Industri 4.0 yang semakin gencar menyuruh kita dituntut untuk berinovasi
lebih bertujuan untuk memajukan pendidikan bangsa kita agar tidak tertinggal
dengan bangsa lainnya.
Lalu apakah
ketika pembelajaran daring terlaksana, mahasiswa tidak mampu berkarya? Apakah
mahasiswa tidak bisa melakukan apa-apa? Apakah tugas mahasiswa sebatas masuk setelah
itu menulis absen, mendengarkan materi, mengerjakan tugas yang diberikan dosen
semata? Jika itu benar dilakukan, maka dimana letak peran mahasiswa sebagai
agent of change yang mampu membuat perubahan terutama dimasa pandemi ini.
Mahasiswa: Agent Of Change di Masa Pandemi
Mahasiswa
sebagai agen perubahan, mungkin kata itu yang sering terderngar di telinga kita
sebagai seorang mahasiswa. Memang tidak dapat dipungkiri bahwasannya mahasiswa
dituntut untuk memberi perubahan yang berarti untuk masyarakat sekitar, sesuai
dengan julukannya agent of change mahasiswa diminta untuk bersungguh-sungguh
dalam menimba ilmu agar dapat diaplikasikan kepada masyarakat, bukan hanya mencari
gelar yang kelak akan menempel pada nama kita saja, akan tetapi ada sepercik
cahaya harapan di dalam gelar itu.
Lalu
bagaimana peran mahasiswa sebagai agent of change di masa pandemi?
Pertama, peran mahasiswa untuk memipin adalah
pengaplikasian kepada diri sendiri untuk
melakukan pencegahan terhadap wabah virus Covid-19. Setelah itu, keluarga
sebagai unit yang membentuk diri, maka mahasiswa sebisa mungkin memberikan
contoh kepada masyarakat terutama kaum awam, untuk berusaha menaati anjuran
pemerintah untuk mematuhi protokol kesehatan agar dapat menekan laju penyebaran
virus Covid-19
Sebagai
manusia yang hidup di zaman modern, apalagi Revolusi Industri 4.0 yang semakin gencar-gencarnya
membuat kita semakin mudah untuk mengakses sesuatu dengan mudah, apalagi
pembelajaran online yang tentunya kita dituntut untuk sebisa mungkin
menggunakan alat elektronik, tetapi yang harus digarisbawahi di sini adalah
bagaimana memanfaatkan media itu untuk memberikan pemahaman terhadap semua
orang. Peran mahasiswa di sini bisa memanfaatkan berbagai media sosial untuk
menambahkan pemahaman tentang virus Covid-19 serta menghimbau untuk tetap
mematuhi protokol kesehatan.
Mahasiswa
sebagai agen perubahan tentunya memiliki peran vital dalam ikut berpartisipasi
untuk mengatasi penyebaran Covid-19 di Indonesia. Apabila hanya berpatok kepada
bantuan pemerintah, tentunya sangat tidak memungkinkan penyebaran Covid-19 akan
teratasi, lebih-lebih dalam waktu yang dekat. Oleh karena itu, mahasiswa dapat
berperan memulihkan keadaan dengan membantu pemerintah dalam mengatasi
penyebaran Covid-19.
Mahasiswa:
Berkarya Sesuai Bidang
Masa
pandemi seharusnya tak menghalangi mahasiswa untuk terus berkarya, banyak
sekali kegiatan bermanfaat untuk mengisi waktu luang. Salah satunya adalah
membuat karya, zaman yang semakin berkembang membuat kita dituntut untuk
memiliki kemampuan lebih agar tidak tertinggal oleh lainnya, membuat karya
dapat menjadi solusi kita untuk menyampaikan aspirasi–aspirasi yang kita miliki
diruang publik sebingga karya kita bisa dinikmati dan dapat bermanfaat untuk
semua orang.
Hadirnya
pandemi merupakan cobaan berat yang diberikan Allah swt kepada kita, berbagai
problematika kehidupan yang ada disekitar membuat kita harus berikhtiar
melakukan berbagai anjuran kesehatan serta bertawakal kepada Allah Swt. Covid-19
telah mewabah sejak maret 2020 dan sudah menyebar hampir keseluruh Indonesia, serta
mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan manusia.
Mahasiswa sebagai aset negara yang memiliki pengetahuan serta keterampilan lebih. Tentunya harus mampu menghadapi problematika yang ada disekitar. Lebih dari itu, mahasiswa harusnya mampu menjadi garda terdepan dalam mengatasi virus Covid-19. Mahasiswa yang memiliki pengetahuan intelektual tentunya mempunyai gagasan dan inovasiinovasi untuk menekan lanu pandemi. []
Sumber Gambar: http://makalahirfan.blogspot.com/2018/10/nyadran-sebagai-budaya-islam-jawa-studi.html?m=1
Kebudayaan di Indonesia memang
beraneka ragam dari sabang sampai merauke, kebudayaan ini merupakan ciri khas
yang tidak semua negara memiliki. Kebudayaan Indonesia sangatlah nyentrik (unik
dan aneh), meskipun begitu tetaplah menjadi warisan peradaban. Kebudayaan
sebagai tradisi, kepercayaan, perilaku dan benda-benda yang dipergunakan
masyarakat, cara hidup manusia seperti kepercayaan, pengalaman (pengetahuan)
umum yang diturunkan atau pengalaman religius, kondisi dan situasi lokal.
Budaya lokal merupakan nilai-nilai
lokal hasil budidaya atau kebiasaan masyarakat suatu daerah yang terbentuk
secara alami dan diperoleh melalui proses kebiasaan yang dilakukan dari waktu
ke waktu secara berkala lama. Terutama untuk kebudayaan Jawa sampai saat ini
masih berkembang dan dilestarikan sebagian masyarakat. Kebudayaan Jawa mulanya
dibawa oleh orang-orang Hindu dan Budha, namun semenjak kedatangan para Wali
Allah (wali sanga), kurang lebih pada abad ke 12 M, sebagian para
wali Allah mengubah tradisi yang ada di masyarakat Jawa dan ada sebagian
memadukannya di antara keduanya.
Islam yang hidup di tanah Jawa
bisa disebut juga dengan Islam Jawa, karena memang Islam yang berkembang di
tanah Jawa sangat pesat. Orang-orang jawa dikenal sangat ramah terhadap para
pendatang tanpa melihat status mereka siapa dan menganggap mereka semua sebagai
bagian mereka. Agama Islam adalah Agama Rahmatan Lil ‘Alamin yang
menyayangi dan mencintai semua insan meskipun berbeda keyakinan, tetap
melindungi segenap jiwa raga. Maka Islam dapat diterima dengan mudah dikalangan
masyarakat.
Islam dengan kebudayaan
sangatlah melekat tak dapat dipisahkan, ibarat perangko dengan surat. Tetapi,
antara Islam dengan Kebudayaan tak dapat dicampur-adukkan menjadi satu, namun
juga tak bisa apabila salah satunya harus ditambahkan atau dihilangkan. Selama
tradisi tidak bertentangan dengan Islam, maka dapat mewujudkan diri menjadi
konteks sosial.
Memang kebudayaan Jawa atau
adat istiadat dengan Islam tidak bisa dipisahkan, keduanya memiliki makna
tersendiri. Kebudayaan Jawa yang sampai saat ini masih ada terdapat di Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Salah satunya yang tidak asing di
telinga kita adalah nyadran. Tradisi tersebut di berbagai daerah pasti
ada, tetapi mungkin berbeda caranya seperti kata pepatah “bedho deso mowo
coro”. Ada juga yang menyebutnya dengan nama sadranan. Tradisi nyadran
adalah sebuah tradisi yang unik dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun
temurun menjelang bulan Ramadhan, lebih tepatnya tanggal 10 bulan Rajab. Tujuan
acara nyadran adalah untuk menghormati para leluhur dan mengungkapkan
rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Acara nyadran terdiri dari
serangkaian kegiatan, yaitu upacara pembersihan makam, tabur bunga, dan acara
selamatan atau bancakan.
Tradisi ini juga ada di desa
saya sendiri, yaitu desa Ngepringan, lebih tepatnya di Dusun Pungkruk, RT 20.
Sebelum Islam masuk ke desa saya para warga setempat melaksanakannya tradisi
nyadran tersebut ke sarean (kuburan), sebuah pohon yang besar biasanya warga
menyebutnya (brumbung). Awalnya kegiatan ini dimulai dengan pembacaan
do’a-do’a yang dipimpin sesepuh desa, habis do’a kemudian para warga bertukar
makanan dengan teman di samping kanan kiri, depan belakang. Dengan maksud agar
warga lain bisa merasakan makanan yang dibuat orang lain juga.
Tradisi ini biasanya diikuti
oleh warga dusun Rt 20, Rt 05, dan Rt 04. Acara ini ikuti para warga mulai dari
anak-anak, remaja, orang tua, kakek nenek. Tetapi kebanyakan yang mengikuti
para anak-anak. Kata nenek ketika saya mendengar bahwa mengapa warga melakukan
tradisi tersebut karena dianggap yang memberikan sumber kehidupan di desa
tersebut. Namun dengan perkembangan zaman sekarang masyarakat jarang melakukan
tradisi tersebut, bahkan hanya sebagai warga yang masih percaya lalu melaksanakan
tradisi tersebut.
Sedangkan corak Islam yang
sudah ada di desa saya banyak warga yang tidak melakukan tradisi nyadran,
mereka yang melakukan hanya beberapa warga saja. Bagi warga yang biasanya
melakukan, tiga hari sebelum tanggal 10 Rajab ketua RT berkeliling memberi tahu
warga. Saat malam tanggal 10 Rajab para warga berduyun-duyun datang ke rumah
pak RT selaku pemimpin do’a, para warga membawa makanan yang berisi: nasi, ayam
panggang, serundeng, kerupuk merah, tahu tempe, dan lain sebagainya. Setelah
acara do’a para warga di suruh membuka makanan tadi yang di tutup oleh daun
pisang, kemudian para warga dipersilahkan makan, jika tidak habis maka harus di
bawa pulang. Alasan mengapa tradisi tersebut harus dilestarikan ialah untuk
menjunjung nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam tradisi tersebut, dan
juga untuk menjalin keaslian dan kedamaian antar warga dan keluarga inilah yang
menjadikan adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Tradisi nyadran ini
sebagai kegiatan penting bagi masyarakat untuk saling lebih dekat dengan para
tetangga sekitar, agar terjalin silaturahmi yang erat. Sehingga para masyarakat
lebih rukun, harmonis, dan saling menyayangi. Dengan adanya tradisi nyadran
ada beberapa manfaat yang penting untuk kelangsungan kehidupan yaitu, kita bisa
mensyukuri nikmat Allah swt., banyak dan sedikit, kita juga bisa menyedekahkan
makanan kepada para warga yang membutuhkan. Jadi, menurut tradisi tersebut
sangat penting untuk dilestarikan masyarakat khususnya di Jawa, meskipun budaya
ini bukan berasal dari agama Islam sendiri. Tradisi ini bisa juga menjadi ajang
untuk menyiapkan diri sebelum bulan puasa tiba dan mengungkapkan rasa syukur
kepada Sang Maha Kuasa dan menjadi ajang untuk bersedekah antar sesama umat
muslim dalam menjaga persaudaraan.
Agama dan kebudayaan memberikan wawasan dan cara pandang bagaimana kita menyikapi dan berbuat baik dengan makhluk ciptaan Tuhan, tanpa memandang status sosial. Agama sebagai pusat peribadatan sedangkan kebudayaan sebagai pusat dinamis bagi kehidupan. Maka dari itu, kita sebagaimana harus bisa menjaga dan melestarikan kebudayaan lokal masing-masing di daerah. []
Sumber Gambar: http://travel.kompas.com/image/2018/06/13/060755227/langgar-rawatib-penjaga-identitas-kampung-kauman-mangkunegaran?page=2
Di era sekarang, penelitian mengenai sejarah kampung mulai jarang
dikaji, yang paling banyak diamati justru studi mengenai sejarah perkotaan.
Jika kita berkenan untuk bernostalgia dengan arsip tua dan Babad Tanah Jawa,
maka kita akan menemukan “Kampung Kauman” yang sangat tersohor di era Kerajaan
Mataram Islam. Kampung Kauman merupakan tiang penguat penyebaran agama Islam
saat Kerajaan Demak berdiri.
Ketika bersepeda mengelilingi Pura Mangkunegaran, maka kita akan
menjumpai papan nama “Kauman” yang terpasang tepat di pinggir jalan sebelah
utara dan barat belakang Pura Mangkunegaran. Sayangnya, semakin berjalannya
waktu Kauman di Mangkunegaran mulai dilupakan dalam ingatan masyarakat
Surakarta. Wong Solo lebih akrab dengan Kauman yang terletak di
lingkungan Kasunanan. Mereka tidak menyadari bahwa Solo memiliki kampung Kauman
yang melegenda milik Mangkunegaran.
Pertanyaan yang memicu rasa ingin tahu pun tiba, Mengapa Kauman di
Mangkunegaran bisa hilang dan dilupakan ?
Kampung Religi, begitulah julukan yang tepat untuk kampung Kauman
Mangkunegaran yang terletak di kawasan Pasar Legi. Secara etimologi Kauman
terdiri dari dua kata “Kaum” dan “Iman”. Seperti namanya, Kauman
sangat khas dengan Ulama, sekelompok orang yang paham ilmu agama, berwibawa,
mengayomi dan membina umat, serta berjasa dalam proses penyebaran agama Islam.
Alasan utama didirikannya Kampung Kauman adalah agar menjadi perantara untuk
memberikan dakwah keislaman.
Kampung Kauman dibangun atas prakarsa KGPAA Mangkunegara (MN) I
yang mendapat impresi dari dinasti Mataram Islam Jawa, selain itu MN I
merupakan Pemimpin Mangkunegaran yang sangat konsen terhadap syiar Islam.
Kampung Kauman tempo dulu dikenal dengan semangat toleransinya yang tinggi dan
juga sebagai Museum hidup Islam Jawa.
Berbicara mengenai sejarah Kampung Kauman Mangkunegaran maka
telinga kita tidak asing mendengar nama “MasjidNagara”. Masjid
bersejarah yang dibangun oleh Mangkunegara I sebagai identitas kampung religi
tersebut. Dibangun mewah pada zamannya komplit beserta rumah pejabat ulama juga
mengangkat seorang ulama perempuan yang tak lain, adalah cucunya yang bernama
Raden Ayu Penghulu Iman. Ia sukses berkolaborasi dengan ulama se-Solo Raya.
Kauman kala itu sangat masyhur dan sangat kental dengan aktivitas keagamaannya.
Akan tetapi, di Era Mangkunegara IV terjadi pemindahan MasjidNagara yang awalnya di Pasar Legi dipindah di sebelah barat Pura
Mangkunegaran dengan dalih ingin memperluas sektor perekonomian Mangkunegaran
kala itu. Dari Masjid Nagara, kini beralih nama menjadi “Masjid Al Wustho”
yang diberikan oleh K.H Imam Rosyidi. Nama Al Wustho berarti tengahan,
tengah dalam arti posisinya, bangunan dan luas tanahnya lebih tengah
dibandingkan masjid Agung dan masjid Kepatihan. Masjid ini tidak sebesar masjid
agung, pun tidak sekecil masjid Kepatihan.
Perpindahan tersebut berdampak negatif, kondisi di kampung Kauman
mulai berubah drastis karena masjid kauman lama yang menjadi pusat
keagamaan kampung tersebut dipindahkan. Kehidupan rohani masyarakat Kauman pun
mulai memudar, aktivitas keagamaan mulai menurun. Dampak lain yakni mengacu
pada menurunnya peran ulama Kauman serta tidak adanya regenerasi ulama untuk
kedepannya. Lama kelamaan, kampung Kauman makin kehilangan ciri khasnya sebagai
kampung religi.
Faktor lain penyebab hilangnya Kauman adalah tidak terukirnya
gelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama dalam bahu KGPAA Mangkunegara I,
sebagaimana Paku Buwono. Di sisi lain, para penguasa mangkunegaran justru
menganggap enteng secara moral terhadap syiar Islam tanah Jawa. Sangat berbeda
jika disejajarkan dengan Paku Buwono yang memiliki gelar Panatagama, sehingga
dirinya dituntut menjaga aktivitas keagamaan dan kemajuan prasarana ibadah di
Kauman.
Hijrah dari kepentingan Kkagamaan ke bidang bisnis lebih
menguntungkan Pura Mangkunegaran. Pasalnya, mereka saat itu dilanda krisis
berlarut-larut berdampak pada pemerintahan para penerusnya. Pembangunan pabrik
gula di kawasan Colomadu-Tasikmadu sebagai solusi perekonomian mangkunegaran
hingga meraih gelar “Raja Gula” terkaya di Jawa, dengan nominasi kerajaan yang
pertama memiliki kesuksesan di bidang wirausaha. Alhasil, tujuan duniawi telah
sukses diraihnya.
Dari refleksi ini, kita bisa menilai bagaimana tingkat kematangan
beragama dalam diri Mangkunegara IV. Terlihat betapa semangatnya mengejar
duniawi hingga melalaikan tujuan akhiratnya. Lebih herannya, penurunan warisan
dalam bidang ekonomi lebih diprioritaskan MN IV daripada mewasiatkan ilmu agama
melalui perantara ulama Kauman sebagaimana Paku Buwono yang sangat
memprioritaskan pendidikan agama kepada anak cucunya hingga menghadirkan guru
agama untuk mengajarkan agama bagi para penerusnya.
Semakin menyusutnya kegiatan keagamaan di Kauman membuat
mayoritas masyarakat tidak sanggup menghadapi tantangan perubahan zaman,
terlebih lagi mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan untuk mencukupi sandang
pangan. Sebab menjadi abdi dalem Istana merupakan pekerjaan tetap dan
satu-satunya bagi mereka. Proses Islamisasinya juga kurang signifikan akibat
kurangnya peran ulama.
Kondisi ekonomi antara Kauman Mangkunegaran dan Kauman Kasunanan
sangat berbanding terbalik. Jika di Kasunanan, para abdi dalem memiliki
inisiatif kegiatan yang bisa dijadikan sampingan yakni pengrajin batik.
Meskipun telah berprofesi sebagai pengusaha batik yang sukses meraup banyak
keuntungan, mereka tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam. Di wilayah
Kasunanan nilai keagamaan Islam merupakan oksigen bagi masyarakat setempat.
Meski kampung Kauman Mangkunegaran hingga detik ini masih ada, namun hanya
tinggal plang nama yang berdiri di sebelah utara dan selatan belakang
Pura Mangkunegaran.
Paparan di atas kurang lebihnya merupakan kilas balik hilangnya detak jantung kehidupan Kauman Mangkunegaran dan juga terlepasnya julukan museum hidup Islam Jawa, layaknya Kasunanan dan Kasultanan. Kini aktivitas yang masih terlihat di sekitar Kauman adalah berdirinya sekolah-sekolah Islam di sekitar Mangkunegaran. []
Sukoharjo, 19/8/21 – Pada hari Kamis, 19 Agustus 2021 Program
Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas
Said Surakarta telah menyelenggarakan kegiatan pembekalan Kuliah Kerja Lapangan
(KKL) secara daring melalui media Zoom yang diikuti oleh seluruh mahasiswa
peserta KKL AFI 2021, yang mana sebagian besarnya adalah mahasiswa angkatan
2018.
Acara bertema “Menelisik Nilai Filosofis Kearifan Lokal
Nusantara Menghadapi Pandemi Covid-19: Studi observasi pada lingkungan Tempat
Tinggal Mahasiswa” itu dibuka oleh Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN
Raden Mas Said Surakarta, Dr. Islah, M.Ag. Dalam pidato pembukaannya beliau berharap
agar para peserta dapat mengambil peran dalam situasi pandemi ini dengan
banyak beramal shalih sebagai representasi wujud keimanan.
Materi pembekalan disampaikan oleh Narasumber, Dr. Sartini,
M.Hum. yang merupakan dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, juga pakar kajian kearifan lokal tersebut memaparkan secara komprehensif
mulai dari pengertian Filsafat Kearifan Lokal Nusantara dan seperti apa jika
dikaitkan dengan Pandemi, hingga penjelasan tentang langkah-langkah menyusun laporan;
cara mengumpulkan data dan bagaimana penyajiannya. Antusiasme peserta terlihat
dengan berbagai pertanyaan yang dilayangkan kepada Narasumber, seperti yang
diwakili oleh mahasiswa Farkhan Fuady, Selvia dan Jamiatun Hasanah.
Sebagai penutup, Kaprodi AFI UIN Raden Mas Said Surakarta menyampaikan Closing Speech dan Pengarahan Teknis pelaksanaan KKL AFI Daring 2021. Dra. Hj. Siti Nurlaili Muhadiyatiningsih, M.Hum. menjelaskan detail pelaksanaan, timeline kegiatan, sistematika pelaporan hingga pembagian kelompok beserta Dosen Pembimbing Lapangan; Prof. Dr. H. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag., Dr. H. Imam Sukardi, S.Ag., M.Ag., Dra. Hj. Siti Nurlaili Muhadiyatiningsih, M.Hum. Terakhir, Kaprodi AFI menghimbau kepada seluruh peserta agar selalu menjaga Protokol Kesehatan dalam pelaksanaan KKL, sehingga semua dapat terhindar dari wabah Covid-19. [AHM]
Sumber Foto: https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/06/08/96127/pakar-sejarah-mencatat-peradaban-islam-membawa-kemajuan.html
Nama lengkap Imam Al-Syaukani ialah Muhammad bin ‘Ali
bin Muhammad bin ‘Abdullah al-Syaukani al-Syan’ani. Lahir pada haru Senin, 28
Dzulqa’dah 1173 H/1759 M, di kota Shan’a, Yaman. Wafat pada Rabu 2 Jumadil
Akhir 1250 H/1834 M, sedang pendapat lain mengatakan Imam Al-Syaukani wafat
pada 1255 H, di Khuzaimah, Shan’a, Yaman.
Tokoh ini dikenal sebagai Al-Syaukani, karena beliau
berasal dari desa yang bernama Syaukan (yang juga disebut dengan Hijrah Syaukan
dan ‘Adna Syaukan). Desa ini dihuni oleh suku Sahamiyyah yang termasuk rumpun
dari kabilah Khaulan. Sedangkan, nenek moyang Imam Al-Syaukani adalah keturunan
dari suku Rabi’ah yang masih mempunyai hubungan darah dengan suku Qathan,
keturunan asli Isma’il bin Ibrahim.
Ayahnya yang bernama ‘Ali Syaukani (w. 1211 H) merupakan
ulama’ terkenal di Yaman, yang sudah berkali-kali dipercaya oleh Dinasti
Qasimiyyah untuk menjabat sebagai hakim (qadli).
Pada dasarnya, Imam Al-Syaukani merupakan anak seorang ulama’ besar yang juga
seorang hakim (qadli). Sehingga,
wajar apabila beliau memiliki kecintaan besar terhadap ilmu pengetahuan.
Bahkan, sebelum beliau belajar secara disiplin-formal kepada para ulama’ besar,
beliau dikenal sebagai anak yang memiliki minat baca tinggi. Ayahnya yang
seorang juga ulama’ besar, yang memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi
kitab-kitab yang banyak dan nyaris lengkap.
Imam Al-Syaukani amat rajin membaca kitab-kitab sejarah
dan sastra, di samping beliau juga membaca sekaligus menghafal sejumlah
ringkasan (mukhtashar) dari berbagai
jenis disiplin ilmu, mulai dari fiqh, ushul fiqh, sastra Arab, ilmu manthiq,
dan seterusnya. Jadi, sebelum beliau benar-benar berlajar secara formal dengan
bimbingan ulama’-ulama’ besar, Imam Al-Syaukani telah membekali dirinya dengan
banyak belajar secara otodidak, yakni dengan membaca banyak kitab di
perpustakaan milik sang ayah.
Dari sang ayah, beliau mempelajari disiplin ilmu fiqh,
ushul fiqh, dan hadist. Selanjutnya beliau mengembarakan dirinya untuk berguru
kepada sejumlah ulama’-ulama’ yang ada pada saat itu. Diantaranya, adalah
‘Abdullah bin Isma’il al-Nahmi (w. 1228 H); Al-Qasim bin Yahya al-Khaulani (w.
1209 H); Al-Hasan bin Isma’il al-Maghribi (w. 1207); ‘Ali bin Hadi ‘Urhab yang
mengajarkan ushul fiqh; ‘Abd al-Qadir bin Ahmad al-Kaubani (w. 1207 H). Itulah beberapa
nama ulama’ yang sering disebut-disebut oleh Imam Al-Syaukani dari sekian
banyaknya guru-guru beliau.
Imam al-Syaukani telah mempelajari banyak berbagai macam
disiplin ilmu. Bahkan, konon dalam sehari beliau kurang lebih mampu mempelajari
13 macam disiplin ilmu yang berbeda secara tuntas. Selain itu, setiap kali
beliau selesai belajar macam-macam ilmu, Imam Al-Syaukani langsung
mengajarkannya kepada para muridnya. Sampai disebutkan, bahwa Imam Al-Syaukani
mampu mengajarkan kurang lebih 10 macam disiplin ilmu yang berbeda dalam
sehari.
Tak heran. Dari jejak karir intelektual beliau yang
memang telah cemerlang sejak masih berusia muda, membuat keluasan dan kedalaman
wawasan sangat unggul berkat ketekunannya dalam belajar, baik secara otodidak
maupun dengan berguru secara langsung.
Imam Al-Syakauni
dan Syi’ah Zaidiyyah
Yang perlu diketahui dari sosok Imam Al-Syaukani adalah
bahwa beliau merupakan keturunan Syi’ah, yakni Syi’ah Zaidiyyah, golongan
Syi’ah yang paling moderat dan paling dekat dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni).
Syi’ah sendiri merupakan kelompok umat Islam yang
menjadi pendukung setia Ali bin Abi Thalib. Tetapi, dalam tubuh Syi’ah sendiri
mereka terpecah lagi menjadi beberapa kelompok, seperti Syi’ah Imamiyyah,
Syi’ah Isma’iliyyah, dan Syi’ah Zaidiyyah.
Khusus, Syi’ah Zaidiyyah adalah golongan Syi’ah yang
merupakan pengikut dari Zaid bin Ali Zain al-Abidin bin al-Husain bin Ali bin
Abi Thalib (w 122 H). Yang mana Alib
Zain al-Abidin sendiri merupakan urutan imam ke-4 dalam pemahaman Syi’ah
Imamiyyah. Zaid inilah yang kemudian diakui oleh kelompok Zaidiyyah sebagai
penerus Ali Zain al-Abidin, bukan Muhammad Baqir sebagaimana yang dipahami oleh
kelompok Imamiyyah.
Nasab keilmuan Syi’ah Zaidiyyah, dalam bidang kalam
(teologi), mengikuti pendapat Mu’tazilah, lantaran Zaid bin Ali Zain al-Abidin
merupakan murid dari Washil bin Atha’ (w. 131 H). Adapun dalam bidang fiqh,
mahzab Zaidiyyah lebih condong kepada paham Sunni ketimbang kepada paham Syi’ah
pada umumnya. Bahkan dalam bidang muamalah khususnya, Zaidiyyah cenderung lebih
dekat dengan pendapat mahzab Hanafi. Seperti menurut Prof. Aqiel Siradj dalam “Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang
Said”, disebutkan, bahwa Abu Hanifah secara politis banyak mendukung Syi’ah
Zaidiyyah, beliau juga berbaiat kepadanya dan menjadi salah satu donaturnya.
Imam Al-Syaukani merupakan anak dari tokoh Syi’ah
Zaidiyyah dan banyak dididik dalam lingkungan mahzab tersebut, namun demikian
tidak sedikit pendapat-pendapat beliau yang bertentangan dengan pendapat mahzab
Zaidiyyah. Sebab, dalam persentuhan karir keilmuannya, Imam Al-Syaukani banyak
mempelajari kitab-kitab dari tokoh Sunni, misalnya Syarh Jam’ al-Jawami’ karya Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar
al-‘Asqalani dan juga Fath Bari’ yang
merupakan syarh utama mahzab Sunni tentang Shahih
al-Bukhari.
Oleh karena banyaknya kitab-kitab Sunni yang
dipelajarinya secara luas dan dalamnya wawasan yang beliau miliki, membuat Imam
Al-Syaukani sering berbeda pendapat dengan orang-orang dari kalangan Syi’ah
Zaidiyyah sendiri. Terutama dalam urusan ayat-ayat mutasyabihat, beliau lebih
condong dengan kelompok Salaf, bukan Syi’ah Zaidiyyah maupun Mu’tazilah.
Pun, dalam persoalan Al-Qur’an, apakah qadim (kekal)atau hadis (baru),
pendapat Imam Al-Syaukani lebih dekat dengan pendapat Abu al-Hasan Al-Asy’ari,
yang lebih berpandangan bahwa Al-Qur’an itu qadim.
Imam Al-Syaukani mengatakan, akan muncul dua hal, apabila masalah demikian
(persoalan Al-Qur’an) terus-menerus diperdebatkan. Yakni, (1) persoalan ini
merupakan hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi maupun ulama’ Salaf, maka
membicarakannya termasuk sesuatu yang bid’ah;
(2) membicarakan hal tersebut, hanya akan memunculkan perpecahan di kalangan
umat Islam, karena akan saling mengkafirkan satu sama lain. Oleh karena itu,
menurut beliau pilihan terbaik adalan memilih berdiam diri (tawaqquf).
Demikianlah, sekilas tentang sosok besar—pengarang kitab Nail al-Authar yang biasa dijadikan rujukan dalam Batsul Masa’il—yang dilahirkan dan dididik dalam lingkungan bermahzab Syi’ah, khususnya tipe Syi’ah Zaidiyyah, tetapi dalam struktur keilmuannya lebih condong ke arah Sunni (Ahlussunnah Wal Jama’ah). []
Sumber foto: https://neswa.id/artikel/tag/qasim-amin/
Pendidikan sebagai tolak ukur
kemajuan suatu bangsa menjadi masalah pokok bagi bangsa yang tergolong dalam
dunia ketiga. Berbagai pemikir mengemukakan pemikirannya tentang pendidikan
guna mengakselerasikan bangsanya dari keterpurukan. Buah hasil pemikiran para
tokoh pun banyak menuai perdebatan yang diduga bertentangan dengan nilai-nilai
tradisi bahkan agama yang telah mendarah daging dalam kalangan masyarakat
maupun agamawan.
Seperti halnya Qasim Amin, seorang
tokoh reformis dari Negeri Piramida (baca: Mesir). Ia adalah putra dari
keluarga aristokrat, ayahnya seorang gubernur di Kurdistan dan ibunya berasal
dari keluarga Muhammad Ali Pasha. Amin mengenyam pendidikan di berbagai sekolah
ternama di Mesir lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Montepellier,
Perancis.
Di Perancis, ia berjumpa dengan
berbagai tokoh pembaharu islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,
Abdullah Nadim, dan lain-lain. Dalam perjumpaanya digunakan baik oleh Amin
untuk bertukar gagasan mengenai masa depan Islam, khususnya Mesir. Ia menjadi
murid sekaligus sahabat karib Muhammad Abduh yang nantinya akan banyak
memengaruhi pemikiranya tentang emansipasi wanita.
Qasim Amin sering disebut sebagai penyempurnya
atas ide-ide emansipasi wanita dunia Arab yang telah dibangun oleh Rifa`ah
al-Tahtawi. Pemikiranya banyak menggelorakan semangat para pejuang emansipasi
wanita setelahnya seperti, Nawwal Sa`dawi, Huda Sya`rawi, Tahir Haddad, dan
lain-lain.
Karya-karya Qasim Amin meliputi
bahasa Arab, Inggris dan Perancis. Hal itu tentu tidak mengejutkan dilihat
bahwa ia pernah mengenyam pendidikan di Barat. Karya Qasim Amin yang menjadi
Magnum Opus-nya ialah Tahrir al Mar`ah dan al-Mar`ah al-Jadidah. Karya Qasim
Amin Tahrir al-Mar`ah layak mendapat perhatian. Karya yang ditulis pada
tahun 1899 M ini menguraikan secara kritis ide-ide pembebasan perempuan,
khususnya yang ada di Mesir. Penulisan Tahrir al-Mar`ah dilatarbelakangi
oleh kesimpulan Amin yang menganggap bahwa reformasi perempuan dalam konteks
struktur sosial memang mendesak untuk segera dilaksanakan (Qasim Amin :1899).
Dalam karyanya yang bertajuk Tahrir al-Mar`ah
ia membagi pembahasa menjadi 4 tema pokok; Pendidikan Perempuan, Hijab,
Perempuan dan Umat, dan Keluarga. Pada tulisan kali ini hanya akan
mengksplorasi Pendidikan Perempuan.
Ide Pendidikan Perempuan menurut Qasim Amin
tidaklah muncul begitu saja, tentu ada suatu hal yang menurutnya
mendiskreditkan perempuan. Pandangan masyarakat Mesir kala itu bahwa perempuan
tidak perlu diberi pendidikan dan pengajaran, bahkan mereka mempersoalkan
apakah belajar menulis dan membaca itu suatu yang diperbolehkan syara`
ataukah sesuatu yang diharamkan? (Muhammad Immarah:1976).
Pandangan seperti diatas juga terasa hingga
negeri kita ini, namun dengan orientasi yang berbeda. Alhasil sering terdengar
di masyarakat bahwa wanita itu hanya masak, macak (bersolek), manak
(melahirkan). Tentu tiga kata tersebut akan membuat perempuan stagnan pada
subordinasi, meminjam istilah Simone de Beauvior yakni sebagai The Second
Sex. Padahal, jika dilihat dalam sejarah kemerdekaan Indonesia terdapat
banyak perempuan yang turut berjuang seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Cut
Nyak Dien, dan lain-lain.
Jika dilihat dari sejarah islam banyak pula tokoh
wanita yang memiliki peran signifikan bagi perkembangan islam seperti, Ummu
Salamah, Ummu Ammarah al-Anshariyyah, dan lain-lain. Pun didalam al-Qur`an
diabadikan sejarah kepemimpinan oleh perempuan yang disebutkan bahwa Ratu Balqis yang menjadi pemimpin negeri
Saba`.
Qasim Amin berusaha merombak anggapan masyarakat
Mesir kala itu tentang perempuan. Dengan hal itu, ia mengembangkan ide yang
telah dibangun oleh at-Tahtawi dan gurunya Muhammad Abduh. Idenya tidak hanya
berpusat pada perempuan sebagai individu namun kiprah perempuan terhadap
kemajuan bangsa baik sebagai anggota masyarakat atau sebagai ibu rumah tangga.
Menurut Qasim Amin dalam karyanya Tahrir
al-Mar`ah disebutkan bahwa Kita (pendidik) harus memberikan keleluasan padanya
(wanita), berjalan di dunia dengannya, dan menunjukkan keajaiban alam semesta,
keagungan ilmu pengetahuan, seluk beluk seni, peninggalan bersejarah dan
penemuan-penemuan kontemporer. Ia (wanita) juga harus ikut andil dalam
pemikiran, harapan, kegembiraan dan kesedihan kita (pendidik). Ia pun (wanita)
harus hadir dalam perkumpulan sosial dan mendapatkan manfaat dari karakter
moral dan ide-ide yang berkualitas.
Dengan pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa
dengan wawasan yang dimiliki perempuan setelah melakukan pengembaraan
pengetahuan akan didapati kualitas dalam diri perempuan baik saat memposisikan
diri sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai anggota masyarakat.
Dengan Pendidikan Perempuan, ketika perempuan
memposisikan diri sebagai ibu rumah tangga yang menjadi poros pendidikan paling
dasar bagi anak-anaknya dan sebagai istri dari suaminya pasti akan melakukan
tugas-tugasnya dengan baik.
Telah menjadi postulat bahwa anak lebih dekat dengan
ibu ketimbang ayahnya. Hal itu menjadi amat penting peran ibu terhadap si anak
dalam mengasuh, menanggung, dan mendidik penuh dengan kasih sayang. Dalam
mendidik anak-anaknya, ibu memberikan wawasan luas yang dimilikinya serta
menginternalisasikan akhlak mulia. Dengan demikian, akan menentukan pula kiprah
si anak yang nantinya mengemban tugas sebagai penerus bangsa.
Di sisi lain, akan sangat aneh jika pendidikan
hanya diberikan kepada pria, padahal yang memegang kendali atas potensi anak
sepenuhnya di pihak perempuan. Secara gamblang, perempuan malah perlu untuk
mendapat pendidikan lebih luas ketimbang pria. Sebab, selain mendidik anak yang
membutuhkan pengetahuan `luar rumah` ia juga perlu membutuhkan pendidikan
`dalam rumah` guna merangkap peran sebagai suami dan ibu rumah tangga.
Hari ini, tidak dapat dipungkiri kontribusi
perempuan dalam memajukan peradaban. Dalam perjalanan sejarah, tidak sedikit
perempuan yang pernah menduduki sebagai kepada negara. Pun, tidak sedikit
perempuan yang turut memberi kontribusi positif di bidang ilmu pengetahuan.
Dari pekerjaan yang menggunakan otot maupun otak disitu pasti ada minimal
seorang perempuan yang turut berkontribusi.
Maka dari itu, pentingya Pendidikan Perempuan tidak hanya berhenti pada aktivitas individu melainkan lebih dari itu. Aktivitas manusia yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarga, dan bagi masyarakat atau bangsa. []